Selamatkan Maluku Utara dari Ancaman Krisis Ekologi

oleh -231 Dilihat
oleh

TERNATE – Himpunan Mahasiswa Program Studi (Himapro) Geografi Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Kie Raha Ternate, Kamis (31/10/2019) melaksanakan dialog publik bertajuk “Selamatkan Maluku Utara dari Ancaman Krisis Ekologi”.

Dialog tersebut, menyentil terkait dengan pertambangan dan krisis ekologi di Provinsi Maluku Utara (Malut).

Sementara, Irwan Abdullah ketika memberikan materinya dihadapan sejumlah mahasiswa mengatakan Provinsi Malut merupakan wilayah kepulauan yang memiliki 395 pulau kecil dan besar dengan luas daratan berkisar lebih dari 3.1 juta hektar.

Selain itu, Malut juga tercatat memiliki Ijin Usaha pertambangan (IUP) sebanyak 335 yang tersebar di pulau besar dan pulau-pulau kecil di Halmahera. Meliputi Kepulauan Sula, Halmahera Tengah, Halmahera Selatan, Halmahera Timur, Halmahera Utara, Kota Tidore Kepulauan, Halmahera Barat dan Pulau Morotai.

“Kepulauan Sula 97 IUP, Halmahera Tengah 66 IUP, Halmahera Selatan 56 IUP, Halmahera Timur, 41 IUP, Halmahera Utara 38 IUP, Tidore Kepulauan 15 IUP, Halmahera Barat dan Morotai masing-masing 8 IUP dan Pemerintah Provinsi sendiri 6 IUP,”

Tak hanya itu, Irwan juga dalam materinya menyebutkan, total luas izin tambang di Malut sudah mencapai 1,19 juta hektar. Dari luasan itu, separuh dari luas wilayah darat sudah dikonversi menjadi kawasan pertambangan mineral dan batu bara. Dengan begitu, dipandang penting adanya konsep pembangunan berkelanjutan (suistainable development) pada prinsip penting.

Prinsip penting kata dia, terdapat beberapa faktor. Diantaranya pembangunan harus memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan hak pemenuhan kebutuhan generasi yang akan datang dan tetap memerhatikan ekosistem yang ada, sesuai dengan kemampuan daya dukungnyasehingga tetap terjaga dan kualitas lingkungan tidak mengalami penurunan (lestari).

“Selain itu, setiap kagiatan pembangunan harus selalu mewujudkan kepentingan kelompok atau masyarakat lain dimanapun berada, serta mengindahkan keberadaan kehidupan sekarang maupun kehidupan masa datang. Serta pembangungan berkelanjutan bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia dalam segala aspek baik fisik, rohani, sosial dan budaya dalam jangka panjang, dengan tidak memboroskan dan tidak merusak sumberdaya alam yang ada, serta tidak melampaui kapasitas daya dukungnya,” papar Irwan.

Lain hal dengan, Alwi La Masinu, dalam dialog tersebut dirinya lebih menyoroti dampak primer terhadap lingkungan paska kegiatan tambang. Dalam materinya tentangDampak Tailing Terhadap Masyarakat danLingkungan, alumnus Teknik Geologi Universitas Hasanudin (Unhas) Makassar ini menyebut pencemaran lingkungan akibat dampak paska tambang bisa terjadi dalam jangka waktu pendek dan panjang,”ungkapnya.

“Rencana PT. Halmahera Persada Lygend (HPL) membuang sisa produksi atau limbah nikel di laut Pulau Obi menjadi ancaman serius kedepan. bukan pada soal biota/keanekaragaman hayati(biodiversitas) saja, melainkan mengancam masyarakat.

Menurutnya, Tailing atau limbah nikel mengandung beberapa sifat kimia, dan itu sangat berbahaya. Karena itu, sampai kapanpun masyarakat Desa Soligi, Kecamatan Obi Selatan tetap rencana PT HPL. Sebagai desa tetangga Kawasi, kami tetap berupaya semaksimal mungkin.

Naswan Hidlia mengatakan, pertambangan di Malut buah dari kepentingan politik. Menurut data Badan Pusat Statistik Malut tahun 2016, sebesar 8,86 persen serapan 
pertambangantidak  pro pada ekologi dan pembangunanberkelanjutan,”terangnya.

“IUP di Malut sebanyak 336, di sortir menjadi327-107-24 pernah beraktifitas. Jumlah itu, 16pabrik diantaranya beroperasi sampai saat ini.Serapan PMBP sektor pertambangan sekitar 500 milyar tahun 2018,” kata tenaga pengajari Universitas Muhammdiyah Ternate ini.

Menurutnya, di Malut belum ada patokan atau acuan besaran corporate social rosponsibility(CSR). Itu sebabnya para perusahaan terkesan bingung merealisasikan pos CSR. “Coba kalau patokan, para investor pasti menjalankan CSR sesuai ketentuan. Misalnya di bidang pendidikan besarannya berapa ?, kesehatan berapa ? begitu juga dengan bidang CSR lainnya,” pungkasnya.

“Pasal 74 ayat (1) Undang-undang Nomor 40 2007 tentang Perseroan Terbatar (PT), perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan,” sambungnya. (MS)

No More Posts Available.

No more pages to load.