TIDORE – Suasana penuh semangat terasa di Kelurahan Soa Sio, Kecamatan Tidore, saat Ketua Tim Pemenangan MASI AMAN, Ardiansyah Fauzi, menggelar kampanye dan tatap muka pada malam yang dianggapnya luar biasa ini. Dalam orasi politiknya, Ardiansyah mengajak warga yang hadir untuk mengingat sejarah panjang Tidore sebagai pusat demokrasi Nusantara yang berakar kuat pada kearifan lokal.
“Di tempat ini, Tidore, pernah tegak satu bangunan tembok demokrasi, yang dinamakan BULULU MADEE, artinya ujung bundaran. Tempat ini bukan sekadar saksi bisu; tempat ini adalah simbol demokrasi yang tumbuh di tanah kita sendiri,” ujar Ardiansyah dalam orasinya.
Lebih jauh, ia mengajak masyarakat mengenang masa 367 tahun yang lalu, pada tahun 1675, saat Tidore merumuskan Konstitusi Kesultanan jauh sebelum tokoh-tokoh besar Barat seperti John Locke dan Montesquieu memperkenalkan gagasan konstitusi dan Trias Politika. Menurut Ardiansyah, Sultan Syaifuddin telah lebih dulu menyusun prinsip-prinsip yang memandu masyarakat Tidore dalam pemerintahan, sebuah kebijaksanaan lokal yang lahir jauh sebelum dunia Barat mengklaim konsep demokrasi.
“Kita adalah generasi yang terlahir dari leluhur yang memiliki kecerdasan, karena itu, kita sudah sangat paham tentang demokrasi. Dunia mengakui ini,” tegasnya.
Ardiansyah kemudian mengingatkan warga akan peristiwa bersejarah 240 tahun lalu, di tahun 1738, saat Sultan Nuku, bersama seorang tokoh kepercayaan bernama Muhammad Arif Bila dari Makian, memperjuangkan kehormatan negeri ini. Menurutnya, Tidore adalah bangsa yang kaya akan harga diri dan memiliki identitas yang tak bisa dibeli dengan uang, berapa pun nilainya.
“Jika ada satu orang yang meninggalkan garis perjuangan HAS MALUT, nomor urut 1, maka dia telah melupakan sejarah kebesaran negeri ini,” kata Ardiansyah tegas, mengingatkan masyarakat akan pentingnya menjaga integritas dan kesetiaan terhadap nilai-nilai lokal.
Di tengah pidatonya, Ardiansyah juga mengutip pesan Bung Karno tentang “Jas Merah” atau “Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah.” Ia menekankan kalimat awal dari pesan itu, yakni agar tidak menjadi seperti ikan koi dan monyet yang memiliki ingatan pendek, mengingatkan warga Tidore akan pentingnya menjaga ingatan kolektif sebagai bangsa yang besar.
Dengan suara berapi-api, Ardiansyah mengakhiri orasinya dengan keyakinan bahwa demokrasi di Tidore bukanlah sekadar konsep, tetapi tradisi yang sudah mengakar. Ia menyerukan agar warga melanjutkan perjuangan dengan kecerdasan, integritas, dan kebanggaan sebagai pewaris nilai-nilai leluhur.