Oleh: [Adriansyah Fauzi]
Di balik gambar ikonik Pulau Maitara yang terpatri di lembaran uang seribu rupiah, tersembunyi kisah seorang anak pulau yang menolak tunduk pada nasib. Muhammad Sinen, lelaki yang lahir dari kerasnya tepian laut, kini berdiri sebagai Wali Kota Tidore Kepulauan—sebuah perjalanan yang lebih dari sekadar kemenangan politik. Ini adalah cerita tentang tekad, tentang menantang arus, tentang bagaimana mimpi besar bisa tumbuh di tanah kecil.
Ia bukan politisi dari keluarga berpengaruh. Bukan pula anak emas dari elite lama yang biasa merangkai takdir dengan koneksi dan privilese. Muhammad Sinen lahir di Pulau Maitara, sebuah pulau kecil yang lebih dikenal karena siluetnya di uang seribu ketimbang karena kisah manusia-manusianya. Tapi dari tempat sederhana itulah, ia mengawali perjalanan yang penuh luka, peluh, dan perlawanan.
Pendidikan dasarnya ditempuh di SD Negeri Maitara (1977–1983), lalu melanjutkan ke SMP Negeri Mareku, Tidore (1984–1987). Seperti anak-anak lain di pulau kecil, Sinen tahu bahwa sekolah hanyalah satu bagian dari kehidupan; bagian lainnya adalah kerja keras. Ia melanjutkan pendidikan di STM Ternate, kemudian di sela-sela kesibukan sebagai buruh pelabuhan dan motoris speedboat di Pelabuhan Rum, ia mengejar gelar sarjana di Universitas Nuku (2004–2008).
Namun, apa yang membuatnya istimewa bukan sekadar jejak akademik atau riwayat pekerjaannya. Muhammad Sinen adalah contoh nyata bagaimana seseorang bisa menempuh jalan terjal tanpa kehilangan arah. Sebelum menjadi Wali Kota, ia menjabat sebagai anggota DPRD Tidore selama tiga periode berturut-turut, lalu dipercaya menjadi Wakil Wali Kota selama dua periode. Kini, ia berdiri di puncak sebagai Wali Kota, sebuah perjalanan yang ditempuh tanpa pernah terputus dari akar rakyatnya.
Rekor Tak Terkalahkan di 89 Titik
Sebagai Ketua Tim Pemenangan Daerah MASIAMAN, saya merasa perlu menulis tentang ini. Bukan sekadar sebagai catatan politik, tetapi sebagai refleksi tentang bagaimana sebuah kemenangan lahir dari legitimasi yang murni. Muhammad Sinen tidak hanya memenangkan suara di satu atau dua kantong pemilih—ia menorehkan rekor baru yang mungkin tak akan bisa diulang dalam satu abad ke depan: tak terkalahkan di 49 desa dan 40 kelurahan di seluruh Kota Tidore Kepulauan.
Ini bukan kemenangan biasa. Ini adalah standar baru yang akan menjadi tolok ukur dalam sejarah politik lokal kita. Sebuah kemenangan yang tidak lahir dari politik uang, tidak pula dari janji kosong. Ini adalah kemenangan rakyat, kemenangan yang datang dari suara hati warga yang mengenalnya bukan dari baliho, tapi dari jejak langkahnya di tengah-tengah mereka.
Dari Juru Bicara ke Mitra Kritis
Tugas saya sebagai juru bicara selama lima tahun terakhir barangkali telah usai. Tapi perjalanan saya bersama beliau belum selesai. Saya akan melanjutkan peran sebagai mitra kritis di parlemen, menjaga agar setiap janji yang diucapkan menjadi nyata. Saya tahu betul mimpi-mimpi besar yang beliau bawa untuk Tidore, dan saya ingin menjadi bagian dari upaya untuk mewujudkannya.
Muhammad Sinen bukan pemimpin yang mencari panggung. Ia bukan tipe politisi yang nyaman duduk di balik meja, menunggu laporan. Ia turun ke jalan, menyeberangi laut, menyusuri gang sempit, mendengar langsung suara rakyatnya. Inilah yang membuatnya tak tergantikan.
Doa Bae, Don’t Stop, Comandante
Dalam setiap perjalanan, ada saatnya kita harus berhenti sejenak untuk menghela napas, menoleh ke belakang, dan melihat seberapa jauh kita telah melangkah. Tapi bagi Muhammad Sinen, perjalanan ini belum selesai. Ini bukan garis akhir, melainkan titik awal untuk babak baru.
Doa bae, Comandante. Jangan berhenti. Karena selama engkau berjalan di depan, kami akan tetap ada di belakangmu, menjaga, mengkritisi, dan mendukung. Tidore Kepulauan tak sekadar punya Wali Kota baru; kita punya pemimpin yang lahir dari rakyat, untuk rakyat.
Dan itu, bagi saya, adalah kemenangan terbesar.