SOFIFI – Pemerintah Provinsi Maluku Utara kembali menunjukkan keberpihakannya terhadap pekerja dengan membuka posko pengaduan Tunjangan Hari Raya (THR).
Kali ini, tidak hanya pekerja formal yang mendapat perhatian, tetapi juga sektor informal, termasuk kurir dan pengemudi ojek online, yang selama ini kerap berada di area abu-abu dalam kebijakan ketenagakerjaan.
Langkah ini diinisiasi oleh Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) Maluku Utara sebagai respons terhadap Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/3/HK/04.00/III/2025. Kepala Bidang Pengawasan Kesehatan dan Keselamatan Kerja Disnakertrans Malut, Nirwan M. Turuy, menegaskan bahwa pemerintah tidak akan membiarkan hak pekerja diabaikan.
“Mereka yang bekerja sebagai kurir atau pengemudi ojek online tidak bisa lagi dipandang sebagai sekadar mitra tanpa hak yang jelas. Posko ini hadir untuk memastikan mereka mendapatkan hak yang seharusnya,” ujar Nirwan dalam konferensi pers di kantor Disnakertrans Malut, Rabu (12/3).
Denda bagi Perusahaan yang LalaiP embukaan posko ini tidak hanya sebatas memberi ruang bagi pengaduan pekerja, tetapi juga memberi peringatan keras bagi perusahaan yang mengabaikan pembayaran THR. Dalam aturan terbaru, perusahaan yang tidak membayarkan THR tepat waktu akan dikenai denda sebesar 5 persen dari total kewajiban yang belum dibayarkan.
Selain denda, sanksi administratif juga mengintai bagi perusahaan yang tetap membandel. Mekanisme pengaduan dibuat sederhana: pekerja bisa datang langsung ke posko atau mengajukan laporan secara daring.
“Kami ingin memastikan tidak ada lagi perusahaan yang mengulur-ulur pembayaran THR. Semua harus tuntas, tujuh hari sebelum hari raya,” tegas Nirwan.
Hak yang Tak Bisa Ditawar
Dalam regulasi terbaru ini, pekerja yang telah bekerja minimal satu tahun berhak menerima THR sebesar satu bulan gaji penuh. Sementara bagi mereka yang baru bekerja kurang dari setahun, pembayaran dilakukan secara proporsional.
Sebagai contoh, seorang pekerja dengan gaji Rp3 juta per bulan yang baru bekerja enam bulan berhak menerima THR sebesar Rp1,5 juta. “Aturan ini berlaku untuk semua sektor, termasuk pekerja informal yang telah memiliki sistem kerja yang jelas dengan perusahaan aplikasi,” tambah Nirwan.
Langkah Konkret bagi Kesejahteraan Pekerja
Selama ini, banyak pekerja informal yang terjebak dalam ketidakpastian—bekerja tanpa jaminan kesejahteraan, meskipun kontribusi mereka terhadap ekonomi tidak bisa dipandang sebelah mata. Dengan hadirnya posko THR yang juga menjangkau mereka, harapan akan keadilan perlahan mulai terwujud.
Bagi pekerja, ini adalah langkah maju dalam memperjuangkan hak mereka. Bagi perusahaan, ini adalah pengingat bahwa tenaga kerja bukan sekadar angka dalam laporan keuangan, tetapi manusia yang memiliki hak atas kesejahteraan yang layak.
Pemerintah kini telah membuka ruang. Kini giliran pekerja untuk memastikan hak mereka tidak lagi terabaikan. (AA)