TIDORE – Di Joung Cafe saat duduk bersama Ardiansyah Fauzi. Ketua Komisi III DPRD Kota Tidore sekaligus manajer Pusam itu bukan tipe yang meledak-ledak dalam bicara. Ia memulai percakapan dengan sebuah kalimat yang sederhana, namun punya nyawa: “Olahraga bukan semata soal menang dan kalah. Ia adalah cara kami merawat harapan, menghidupkan ruang, dan menyatukan langkah.”
Pusam-Putra Samudera-bukan sekadar klub bola. Ia adalah denyut nadi kampung Tomalou. Kampung yang dibesarkan oleh laut, oleh ombak dan riuh gelombang, oleh kaki-kaki anak-anak yang berlari di pasir bukan untuk mengejar piala, melainkan untuk mengejar mimpi.
“Nama kami lahir dari laut, kata Ardiansyah, menatap jauh seolah mengingat sesuatu yang lama, “tapi kami ingin hidup bersama lewat olahraga. Ini tentang kebersamaan, bukan hanya kompetisi.
Senin, 14 April nanti, Stadion Gurabati akan jadi panggung. Bukan cuma bagi Pusam atau Oba Utama, tapi bagi dua desa yang membawa kisah masing-masing. Oba dan Tomalou, dua titik kecil di peta, dua dunia yang berbeda tapi dipertemukan oleh satu hal: sepak bola.
Di pinggir lapangan akan ada anak-anak yang berharap bisa jadi seperti Mamadou Hady Barry striker mematikan Pusam
yang dikenal lincah dan tak takut duel. Akan ada ayah-ayah yang datang , dan ibu-ibu yang menggenggam doa dalam diam. Laga itu, pada akhirnya, bukan cuma soal siapa mencetak gol lebih dulu. Tapi tentang bagaimana ruang publik di sulap menjadi ruang harapan. Tentang bagaimana satu bola bisa memanggil orang untuk percaya pada sesuatu yang lebih besar.
“Sepak bola,” ujar Ardiansyah sebelum meninggalkan bangku wawancara, “adalah bahasa yang dimengerti semua orang. Dan kami sedang menulis kalimat-kalimat baru di dalamnya.
Di sisi lain lapangan, ada Aloed Dahlan. Asisten manajer Pusam yang lebih sering berada di balik layar. Saat kami tanyakan peluang timnya, ia hanya tersenyum. “Pusam ini seperti Belanda,” katanya, “kuat tapi belum pernah angkat piala.” Lalu ia mengangkat bahu. Tak ada nada getir, hanya keyakinan pada proses.
“Yang abadi bukan hasilnya,” katanya, “tapi cara kami bertanding. Kami mewakili Tomalou, dan kami datang bukan untuk mencederai. Kami ingin dikenal bukan karena menang, tapi karena cara kami bermain.”
Turnamen ini, Gurabati Open Turnamen (GOT) ke-27, dibuka resmi oleh Wali Kota Tidore Kepulauan, Muhammad Sinen. Di hadapan 26 tim dari berbagai kota dan pulau, ia mengatakan bahwa GOT bukan sekadar agenda tahunan. Tapi bagian dari tanggung jawab negara kepada masyarakatnya. Sebuah bukti bahwa pemerintah hadir-bukan hanya dalam bentuk proyek, tetapi juga dalam bentuk perhatian.
“Gurabati adalah cermin,” ucap Wali Kota dalam sambutannya. “Lewat turnamen ini, kita tidak hanya menunjukkan eksistensi, tapi juga memberi makna pada apa itu kebersamaan dalam olahraga.”
Karena sepak bola, pada akhirnya, bukan hanya tentang 90 menit di atas lapangan. Ia adalah cerita tentang siapa kita, dari mana kita datang, dan ke mana kita ingin pergi. Ia adalah bahasa yang melampaui perbedaan.
Dan bagi Pusam, setiap kali peluit dibunyikan, mereka sedang menulis satu paragraf baru-tentang kampung kecil yang berani bermimpi besar. Tentang laut yang mengajarkan kesabaran. Tentang sepak bola yang menjadi cara paling sunyi namun paling jujur untuk mengatakan: kami masih di sini, dan kami tidak akan berhenti bermain. (AA)