TIDORE – Di Kota Tidore, di sebuah ruangan sederhana tempat para wakil rakyat berkumpul untuk mendengar suara warganya, waktu seolah berhenti. Seorang ayah, Amiruddin Ibrahim, datang bukan membawa aspirasi politik, melainkan kegelisahan yang terlalu berat untuk ditampung sendiri: anaknya, bocah perempuan berusia 3 tahun 4 bulan, diberi obat kadaluwarsa di Puskesmas Payahe.
“Ini bukan kelalaian,” katanya pelan namun tegas di hadapan Komisi III DPRD Kota Tidore. “Ini kesengajaan”.
Nada suaranya bukan sekadar tudingan, tapi jeritan sunyi dari seorang warga yang mempercayakan kesehatan anaknya kepada negara – dan merasa dikhianati.
Tanggal 11 April, Jumat pagi, anaknya demam. Seperti kebanyakan orang tua di Payahe, ia membawa sang buah hati ke puskesmas. Obat diberikan, dan dua hari kemudian, rasa curiga membawanya memeriksa ulang. Label resep dokter yang tertempel rapi di botol paracetamol sirup ditarik pelan. Di baliknya, kenyataan pahit menyelimuti wajahnya saat melihat tanggal kedaluwarsa yang sudah lewat.
Komisi III DPRD Kota Tidore langsung menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP), mengundang Dinas Kesehatan dan warga. Di ruangan itu, Ardiansyah Fauji, Ketua Komisi III, tak mencoba menyembunyikan fakta. “Ada empat obat kadaluwarsa yang belum dimusnahkan. Dan salah satunya sudah dikonsumsi oleh warga. Ini bentuk kelalaian yang serius,” ujarnya.
Jenis obat yang ditemukan adalah paracetamol sirup 120 mg/5 ml rasa stroberi. Obat itu, menurut aturan, seharusnya sudah dimusnahkan tiga bulan sebelum melewati masa kedaluwarsa. “SOP-nya jelas. Ini bukan hanya soal kelalaian teknis. Ini soal tanggung jawab terhadap nyawa manusia,” tegas Ardiansyah.
Lebih mengkhawatirkan, dugaan muncul bahwa masa kedaluwarsa ditutupi label resep – semacam tameng administratif yang mengaburkan potensi bahaya nyata. Bila itu benar, maka kita bukan lagi bicara soal kekeliruan logistik, melainkan pelanggaran etik dan kriminal dalam dunia medis.
Ardiansyah mengutip Permenkes No. 74 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas sebagai acuan yang semestinya menjadi napas seluruh sistem layanan kesehatan primer. Ia menekankan, “Bagi saya, pencapaian tertinggi sebagai anggota DPRD bukan sekadar pengesahan anggaran, tapi memastikan pelayanan publik berjalan maksimal.
Dan ia menutup pernyataannya dengan kalimat yang seolah mengandung bobot waktu itu sendiri:
“Waktu tidak menunggu siapa pun, tetapi mereka yang menggunakan waktu dengan bijak akan menuai hasilnya”.
Di luar ruang RDP, kehidupan di Kelurahan Payahe mungkin berjalan seperti biasa. Tapi bagi Amiruddin, waktu akan selalu terbelah sebelum dan sesudah 11 April. Ia tidak meminta banyak. Hanya ingin memastikan anak-anak lain tak menjadi korban berikutnya.
“Semoga cukup anak saya saja,” katanya.
Dalam dunia kesehatan, ada prinsip kuno yang masih relevan hingga kini: agroti salus lex suprema – keselamatan pasien adalah hukum tertinggi. Ini bukan sekadar semboyan Latin yang tertulis di dokumen. Ini adalah inti dari semua janji yang dibuat sistem pelayanan kesehatan kepada rakyatnya.
Ketika prinsip itu dilanggar, bahkan oleh satu dosis sirup rasa stroberi, maka yang hilang bukan hanya kepercayaan. Yang hilang adalah rasa aman. Dan itu, tak ada obat pengganti yang mampu mengembalikannya. (@b)