Ketika Indonesia Disuarakan dari Pantai Tugulufa

oleh -76 Dilihat
oleh

TIDORE — Ada malam-malam yang menyisakan gema, bahkan setelah keramaian bubar dan panggung dibongkar. Sabtu malam di Pantai Tugulufa adalah salah satunya. Di bawah langit pesisir yang bersih dan langit-langit bintang yang rendah, satu suara laki-laki mengisi ruang: lantang tapi tenang, membacakan puisi lama dengan nyawa baru.

Ardiansyah Fauji, anggota DPRD Kota Tidore Kepulauan dan Ketua Komisi 3, berdiri di hadapan ratusan warga yang memadati tepi pantai. Ia tak datang membawa laporan reses, bukan pula membagikan proposal anggaran. Ia hadir untuk membacakan puisi. Bukan puisi sembarangan, tetapi “Aku Melihat Indonesia”  sebuah karya dari sang Proklamator, Bung Karno.

“Kebetulan Wali Kota yang request, jadi saya baca dulu,” ujarnya santai, sesaat sebelum memulai. Namun ketika suaranya mulai mengalir, tak ada lagi kesan santai. Yang tersisa hanyalah kesungguhan. Larik demi larik puisi Bung Karno tak lagi terdengar seperti bacaan teks. Ia menjelma jadi pernyataan batin, jadi semacam litani kebangsaan yang menggugah, mengikat siapa pun yang mendengarnya untuk diam, dan merenung.

“Aku tidak lagi menghirup udara,

Aku menghirup Indonesia…”

Di zaman ketika kebangsaan sering kali diringkus dalam slogan-slogan kosong, penampilan Ardiansyah terasa seperti jeda yang bernyawa. Ada irama lama yang dibangkitkan kembali — bahwa mencintai tanah air bisa juga lewat puisi, lewat suara yang jujur, bukan retorika politik.

 

Puisi “Aku Melihat Indonesia” memang bukan sekadar karya sastra. Ia adalah potret batin Bung Karno: tentang sawah-sawah yang menguning, tentang gunung yang berdiri gagah, tentang lagu rakyat dari Batak hingga Maluku yang tak lagi sekadar lagu etnis, tapi menjadi suara Indonesia.

 

Dan malam itu, puisi itu tak sekadar dibaca. Ia dirayakan. Diucapkan dari bibir seorang legislator muda kepada warganya, di tengah hembusan angin laut, di antara debur ombak yang tak berhenti.

 

Mungkin itulah yang ingin ditanamkan: bahwa nasionalisme tak harus berseragam. Ia bisa hadir lewat puisi. Lewat keberanian seorang Ardiansyah untuk tampil tanpa slogan kampanye, hanya dengan selembar teks dan suara yang jernih.

 

Dalam momen seperti itu, Indonesia tak terasa jauh. Ia hadir di suara, di mata anak-anak yang duduk bersila di atas pasir, di dada orang-orang tua yang diam-diam menunduk, mungkin menahan haru.

 

Dan ketika pembacaan puisi usai, tak ada tepuk tangan yang terlalu panjang. Yang tertinggal justru hening — semacam ruang kosong yang mengajak kita merenung: apakah kita masih bisa melihat Indonesia, seperti yang Bung Karno lihat dulu?

Di malam yang sederhana itu, Ardiansyah Fauji menjawabnya, bukan dengan teori atau pidato, melainkan dengan keberanian sederhana: membacakan puisi di hadapan rakyatnya.

Dan mungkin, itu jauh lebih penting dari seribu program kerja. (red)

No More Posts Available.

No more pages to load.