TIDORE — Tidak semua percakapan penting terjadi di ruang sidang. Kadang, justru di sela-sela seremoni, di balik gegap gempita kelulusan dan sorak keluarga yang bangga, muncul dialog diam-diam yang menyentuh inti dari kebangsaan kita. Itulah yang terjadi pagi itu di kampus Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Jatinangor, (23/7)
Di antara derap langkah para wisudawan IPDN angkatan ke-32 yang melangkah menuju masa depan birokrasi, dua sosok yang membawa sejarah dan tanggung jawab negeri ini memilih ruang yang lebih sunyi. Sultan Tidore H. Husain Alting Sjah pewaris takhta dari salah satu kerajaan tertua di Nusantara bertemu dengan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian. Yang mereka bicarakan bukan hal seremonial. Bukan pula soal angkatan baru para birokrat. Yang mereka bahas adalah satu: ancaman retaknya ikatan kebangsaan akibat wacana pemekaran Kota Sofifi.
“Isu DOB ini membuat masyarakat kami terbelah. Ada kecemasan, ada ketegangan,” ujar Sultan, pelan namun tegas, seperti dikutip dari unggahan pribadinya. Unggahan itu kemudian menyebar cepat ke pelbagai kanal, dari Facebook warga Tidore hingga grup WhatsApp para tokoh adat.
Sultan tidak datang sebagai seorang elite politik. Ia datang membawa suara tanahnya tanah yang sejak ratusan tahun lalu menjadi saksi dialog antara kerajaan dan republik, antara adat dan konstitusi. Dan kepada Tito, ia menyampaikan kegelisahan masyarakat yang merasa dilibatkan hanya dalam desas-desus, bukan dalam keputusan.
Tito Karnavian, dalam kapasitasnya sebagai Mendagri, menjawab bukan hanya sebagai pejabat. Tapi sebagai sesama anak bangsa. “Belum ada rencana pembentukan kota baru. Belum saatnya,” ujar Tito. Dengan bahasa yang mengalir, ia menjelaskan bahwa tak semua pusat pemerintahan harus menjelma menjadi kota administratif. Ia menyebut Manokwari, Mamuju, Tanjung Selor semuanya ibu kota provinsi, tapi bukan kota dalam pengertian administratif.
“Kalau belum ada pelabuhan, belum ada bandara, masyarakat tetap akan ke Ternate. Jadi buat apa terburu-buru?” katanya lagi, menegaskan bahwa pemerintah pusat tidak akan membuka pintu DOB Kota Sofifi dalam waktu dekat. “Bapak Sultan, jangan khawatir. Di tempat saya, barang itu tidak akan jadi.”
Kalimat itu, meski sederhana, menjadi secercah harapan di tengah ketegangan yang mulai menjalari struktur sosial Maluku Utara. Sebab sejarah telah mengajarkan kita: pemekaran wilayah bukan soal garis batas, melainkan juga soal tarik-menarik kuasa, dana, dan pengaruh. Terlalu sering, rakyat hanya menjadi penonton di arena yang dimainkan oleh elite.
Sultan Tidore menutup percakapan itu dengan nada getir tapi jernih. “Jangan karena sepotong kue kekuasaan, kita rela pecah belah. Itu kerugian besar.”
Kalimat itu menyisakan gema panjang. Sebab ia tak hanya ditujukan kepada pejabat pusat, tapi juga kepada kita semua warga negara yang terlalu mudah terpikat oleh jargon pembangunan, dan terlalu mudah lupa bahwa pembangunan sejati tak pernah lahir dari ambisi yang tergesa, apalagi dari konflik sesama anak bangsa.
Dalam gaya khasnya yang penuh kehati-hatian, pertemuan Sultan dan Tito bukan hanya pembicaraan teknis. Ia adalah afirmasi, bahwa Republik Indonesia ini masih punya ruang untuk mendengar suara kebijaksanaan. Bahwa kita masih punya penjaga yang tahu kapan harus berkata cukup, dan kapan harus dengan tulus mencintai negeri ini dalam diam, dalam sabar, dan dalam komitmen menjaga utuhnya tubuh bangsa.
Karena dari IPDN hari itu, kita diingatkan kembali: Indonesia tidak dibangun dari kota-kota baru yang diadministrasikan, tapi dari cinta lama yang terus dijaga agar tak lapuk oleh waktu dan kekuasaan. (@b)